Reportase: Tim Lesangi Generation UPT SMPN 1 Masamba ikut Meriahkan Lomba Napak Tilas MAF

Luwu Utara, metro-pendidikan.com — Siswa Kelas IX SMPN 1 Masamba ikut ambil bagian pada Lomba Napak Tilas Masamba Affair Festival (MAF). Perhelatan ini adalah sebuah upaya menelusuri kembali jejak peristiwa Masamba Affair yang terjadi pada 29 Oktober 1949 atau sekitar 74 tahun yang silam.

Demikian disampaikan Kepala SMPN 1 Masamba, Misbahuddin, S.Pd. Menurunya, peserta dari UPT SMPN 1 Masamba adalah peserta termuda dalam ajang ini. Meski demikian, mereka tetap percaya diri berbaur dengan para peserta yang lebih senior.

Lesangi generation, nama tim mereka, terinspirasi dari nama seorang pahlawan yang mati muda pada peristiwa tersebut dan menjadi pusat pusaran kisah ini,”ucap Misbahuddin

Dia juga menguraikan bahwa setiap siswa memerankan beberapa tokoh/karakter, walau tetap ada 1 karakter utama yang diperankan. St Subaedah sebagai Salawati Daud, sang pemompa semangat perjuangan. Muhammad Abizar sebagai Lesangi Nantang, pemuda pejuang pemberani. Natasya Yatte sebagai Terei, polisi NICA yang pro perjuangan. Khansa Rahadatul Aiss sebagai Mohammadong Dg Mallimpo bergelar Raja Muda, tokoh masyarakat Masamba yang sangat mendukung perjuangan. Irgi Al Fahresi sebagai Letnan Abdullah Riu, Komandam Kompi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Masamba. Dirgantara sebagai Lettu Hasan Lakallu, Wakil Komandan TKR. Muh Resa Al Gifari sebagai Andi Baso Rahim, tokoh pemuda dari Makassar. Ahmad Bilal sebagai Kasim Kasmad, pemuda pejuang asli Masamba Terakhir, Farel Atalla sebagai Bakri Nantang, polisi NICA yang juga pro perjuangan.

Demi totalitas dalam peran, lanjut Misbahuddin, mereka rela berjalan tanpa alas kaki disepanjang rute.Seperti kata Khansa, “Pejuang dahulu hebat-hebat, kuat, pemberani dan tak memikirkan penampilan”.

Tujuan napak tilas ini agar peserta dapat merasakan langsung dan menghormati perjuangan Pemuda Masamba, serta mengingat kembali tentang sejarah yang dilalui oleh para pejuang pendahulu kita. Dengan begitu, mereka bisa menghormati dengan benar, mencontoh suri tauladannya, bahkan menghidupkan kembali semangat juang yang pernah dilakukan oleh para pahlawan dan leluhur sebelumnya.

Peserta melewati 9 titik Posko dan di masing-masing Posko terdapat Dewan Juri/Tim Penilai. Total panjang rute yang dilalui lebih dari 5 km, tetapi dilalui dengan penuh semangat membara.

Kisah Napak Tilas ini bermula dengan adegan pertemuan Salawati Daud, Hasan Lakallu dan Andi Baso Rahim dengan Pemuda Masamba (Muhammadong Dg Malimpo, Bakri Nantang, Kasim Kasmad, dll) di Rumah Ambe Pudding (Inkor) dan Rumah Muhammadong (Sapek). Ditunjuklah Tantu Ambe Niaga sebagai Komando penyerbuan dengan kata sandi “Sawik”. Sawik, senjata laras panjang (senapan) yang biasa dipakai oleh Tantu Ambe Niaga untuk berburu rusa. Meski memegang senapan, NICA hanya menganggap Tantu Ambe Niaga hanya sebagai seorang pemburu rusa belaka, bukan tentara republik, sehingga Tantu Ambe Niaga bisa lolos dari kecurigaan NICA

Sabtu itu, 29 Oktober 1949 setelah Magrib, Tantu Ambe Niaga bersama pemuda pejuang lainnya menuju Tangsi Militer Belanda. Tantu Ambe Niaga yang memang akrab dengan Tentara NICA karena sering meminjam senjata (sawik) untuk berburu rusa, tidak menimbulkan kecurigaan mereka. Ketika Tantu Ambe Niaga berseru “umba sawikku?”, serempaklah Bakri Nantang, Terei, Lodong To Saripa, Maullu melumpuhkan Polisi NICA lainnya. Bersamaan, dari luar tangsi militer, Pemuda lainnya menyerbu masuk, melumpuhkan semua tentara yang ada, kemudian melucuti 28 pucuk senjata milik Belanda. Berbekal senjata ini, mereka menyerbu Penjara dan membebas tahanan politik dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Luwu, Andi Attas dan kawan-kawan yang ditahan Belanda tanpa proses peradilan. Karena menang persenjataan, penyerbuan penjara pun berlangsung cepat.

Eks Tapol bergabung, pemuda semakin banyak. mereka lalu bergerak membakar gedung sandiwara/gedung kesenian, dan merampas sepeda motor milik komandan NICA.

Menyadari akan adanya serangan balik dari tentara NICA (yang bermaskar di Palopo), Pemuda segera menyingkir meninggalkan Kota Masamba. Saat melintas di depan pasar, tak sengaja mereka bertemu dengan 2 orang pedagang rokok dari Makassar, seorang Belanda dan seorang lagi India. Keduanya segera ditawan, mobilnya dirampas, kemudian seluruh pemuda bergerak ke arah utara melalui Sapek.

1 unit mobil Willis yang ditumpang dari Makassar, 1 unit mobil yang dirampas dari tawanan dan 1 unit motor yang dirampas dari komandan NICA, dibakar di penghujung kampung Tandung sebelum masuk hutan.

Esoknya, Minggu 30 Oktober 1949, di Rante Manuk (antara Masamba – Maipi), dilakukan gelar pasukan dan penyusunan strategi. Abdullah Riu menjadi Komandan Kompi, pangkat Kapten, Hasan Lakallu Wakil Komandan, pangkat Letnan Satu. Andi Attas Komandan peleton A, pangkat Letnan Dua, ditugaskan melakukan gerilya diwilayah utara. Kasim Kasmad Komandan Peleton B pangkat Letnan Dua, bertugas melakukan gerilya di wilayah Selatan.

Kedua peleton berpisah, para komandan bersama peleton B bergerak kearah selatan bersama tawanannya, sementara Peleton A mulai bergerak ke Utara. Beberapa hari kemudian, Pasukan Kasim Kasmad diserang oleh pasukan Belandadi di Patobu, (Pambusu, Desa Rompu sekarang). Terjadilah pertempuran sengit. Kontak tembak tak seimbang tak terelakkan lagi. Darah pejuang pun tumpah ke Bumi Pertiwi. Lesangi Nantang, gugur sebagai kusuma bangsa. Nyawanya melayang demi republik ini.

Monumen Masamba Affair, di jantung Kota Masamba, Banyak masyarakat yang meyakini bahwa patung pemuda pejuang mengenggam badik di tangan kanan dan memegang senjata api di tangan kiri pada monumen itu, adalah figur Lesangi almarhum.

Peristiwa Masamba Affair 29 Oktober 1949 ini sangat mempengaruhi Konferensi Meja Bundar. Delegasi Indonesia dalam sidang KMB memiliki bukti bahwa di Indonesia khususnya di Masamba, masih terjadi perlawanan oleh pejuang kemerdekaan, yang membuat delegasi Belanda merasa malu terhadap dunia atas kebohongan informasi yang diberikan sebelumnya. Maka Belanda selambat – lambatnya tanggal 30 Desember 1949 harus mengadakan penyerahkan kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia tanpa syarat.

Seperti lantang kata Irgi Al Fahresi pada adegan penyerahan kedaulatan, “Walaupun Lesangi telah tiada, tapi Indonesia tetap Merdeka. Merdeka…”.

Satu hal yang menarik, kata Misbahuddin, Salawati Daud adalah pentolan utama yang mengotaki peristiwa ini. Tapi hingga kini, hanya di Masamba saja namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan.***Mis/red**

Pos terkait