Gowa.metro-pendidikan.com. Kantor Urusan Agama (KUA) Bajeng fasilitasi dialog antar dan intra umat beragama dengan tema, “Pencegahan Dini Konflik Sosial Berdemensi Keagamaan”. Kegiatan ini digelar di Kantor KUA Bajeng, Jum’at (27/9/2024) dengan nara sumber Kepala Kemenag Gowa H Jamaris, S.Ag, MH dan Kasi Bimas Islam H Sardy Yoelfa, S.STP, M.Si serta moderator HAM Yusuf Hakim, S.Ag, M.Pd.I
Dialog internal ini, selain dihadiri Camat Bajeng Siti Haerani, S.Sos diwakili staf, juga hadir Ketua MUI Bajeng Drs H Muhlasan,. M.Pd.I, PC Muhammadiyah Limbung, MWC NU Bajeng, DPC Wahdah Islamiyah, tokoh agama/masyarakat, Imam Kelurahan/Desa se- Kecamatan Bajeng dan para Penyuluh Agama se- KUA Bajeng.
Sardy Yoelfa yang tampil memberi pengantar dialog mengatakan, pihak Kemenag kabupaten dan kota diberi kewenangan untuk menindaklanjuti berbagai kebijakan pemerintah dalam pembinaan keagamaan. Termasuk penanganan munculnya potensi konflik sosial yang bisa berimplikasi buruk terhadap kehidupan keberagamaan dan kegiatan layanan keagamaan di tengah masyarakat.
Menurut Sardy Yoelfa, penanganan konflik sosial yang dipicu masalah membangun rumah tanpa prosedur,
aliran dan pemahaman keagamaan, itu menjadi tanggung jawab semua pihak untuk membuat suasana dan kehidupann keberagamaan yang sejuk. Karena itu, MUI, FKUB, pimpinan Ormas Islam, tokoh agama dalam berbagai tingkatan, dinilai sangat penting menjadi parnert pemerintah dalam mengayomi warga terutama umat Islam agar dapat terhindar dari berbagai pemahaman keagamaan yang keluar dari konteks Al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW serta regulasi pemerintah.
Hal ini sejalan dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 332 Tahun 2023 tentang Resolusi Konflik Sosial dan Paham Keagamaan. Sardy menyebutkan, sejumlah masalah di tingkat bawah yang memicu munculnya konflik sosial, antara lain membangun rumah ibadah baik masjid maupun gereja yang lokasinya berdekatan tanpa persetujuan dari warga dan izin dari pihak berwenang.
Diakui, banyak orang terutama dari Kota Makassar membeli lahan di wilayah Gowa untuk membangun rumah ibadah khususnya gereja. Ada tiga kecamatan di Kabupaten Gowa yakni Kecamatan Somba Opu, Bontomarannu dan Patalassang menjadi sasaran pembangunan rumah ibadah.
“Tidak ada larangan untuk membangun ibadah tapi harus ada persyaratan yang harus dipenuhi. Apalagi membangun rumah ibadah sudah diatur dalam Surat Keputusan Bersama oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Membamgun rumah ibadah tetap memperhatikan rekomendasi FKUB untuk diteruskan ke pemerintah daerah dengan tetap persetujuan warga setempat minimal.90 warga dan 60 orang diantaranya membubuhi tanda tangan”, jelas Sardy yang PLT Kasubag TU Krmenang Gowa ini.
Masalah lain, munculnya berbagai aliran atau paham keagamaan yang dibawah oleh guru- guru tidak jelas kapasitasnya, seperti Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang menggabungkan tiga agama yakni Islam, Kristen dan Nasrani serta dan Mahaguru Khalwatiyah Syekh Yusuf Puang La’lang yang menjamin pengikutnya akan masuk syurga.
Belum lagi menjamurmya lembaga dakwah yang belum tentu memiliki legalitas dan izin pendirian. Lembaga tersebut mencetak banyak muballiq dan ustad instan sekaligus menjadi pengurus masjid. Begitu masuk jadi pengurus masjid dapat memaksakan pendapatnya, antara lain tidak membenarkan adanya mengirim Durat Al Fathiah kepada orang sudah yang meninggal, tidak boleh melaksanakan takziyah dan zikir shalat kepada Nabi SAW.
“Pada hal kebiasaan warga atau jamaah di suatu masjid tersebut melakukan peringatan maulid Nabi, israh mi’raj dan zikir shalawat dianggap tradisi yang baik dan sudah berlangsung lama. Begitu datang ustad atau pengurus masjid yang tidak mengerti tipikal masyarakat, kemudian mengatur semua agenda ceramah dan khatib Jum’at. Maka kebiasaan Jamaah merayakan hari-hari besar Islam seperti maulid dan israj mi’raj, menjadi hilang akibatnya muncul konflik sosial dalam kepengurusan masjid dan jamaah”, ungkap Sardy Yoelfa.
Hal sama, juga diungkapkan H Jamaris. Hanya saja, dia lebih. menyorot menjamurnya rumah tahfidz dengan membawa simbol mashab serta pemahaman keagamaan yang dianutnya. Termasuk pondok pesantren yang memiliki kiblat mazhab tertentu dan satuan pendidikan formal misalnya SMP Islam atau Sekolah Dasar Islam yang izin operasionalnya dari Dinas Pendidikan.
“Pondok pesantren yang membina satuan pendidikan di luar dari Kemenag kadang susah dilakukan pengawasan dan pembinaan secara teknis oleh Kemenag sendiri karena ada hal-hal yang menjadi kewenangan dinas pendidikan. Kecuali dari segi kelembagaan dan pendirian pesantren tentu melalui mekanisme yang ada di Kemenag”, ujar mantan Kepala Kemenag Sinjai ini.
Meski begitu, lanjut H Jamaris, baik rumah tahfidz maupun pondok pesantren yang mengembangkan faham keagamaan bercorak mazhab tidak boleh dibenturkan dengan pemerintah apalagi negara dengan alasan demokrasi dan kebebasan berpendapat.
“NKRI dengan dasar Pancasila sudah final. Semua orang tahu kalau Indonesia hadir adalah hasil perjuangan dan tetesan darah para leluhur. Rumusan lima sila dalam Pancasila, itu juga hasil perjuangan maksimal para tokoh dan ulama NU bersama Muhammadiyah serta tokoh nasionalis lainnya”, pungkas H Jamaris
Kalau pun kedua Ormas Islam terbesar itu ada perbedaan, sebut Jamaris, hanya seputar qunut atau tidak qunut dan soal membaca basmalah dijahar atau tidak dijahar saat shalat. “Itu bukan masalah prinsif, itu cuma cara pandang yang sifatnya klasik karena beda mazhab”, katanya.
Terlepas dari itu, H Jamaris mengungkapkan, ada opini yang berkembang bahwa pemerintah seolah olah membuat agama baru melalui moderasi beragama. Pada hal, tidak seperti itu, bahwa moderasi beragama tak lebih sebagai ruang dan wadah bagi setiap warga yang beragama untuk menghargai perbedaan, menjunjung tinggi sikap toeransi beragama serta memperlakukan seseorang sama dalam layanan keagamaan dan pendidikan pada instansi pemerintah.
Moderasi beragama dengan opini membangun agama baru, kemudian diberi ruang berkembang, H Jamaris menilai, sangat berbahaya karena dapat mengancam kedaulatan negara. Karena itu, dia mengajak semua pihak mari merawat negeri ini dengan spirit kebersamaan. Jangan agama dijadikan jualan politik demi untuk tujuan rertentu dengan menggunakan jargon kebebasan berpendapat. **
Laporan : Darwis Jamal